Islam dan Keseimbangan Hidup
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
“Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”— QS. Al-Qashash [28]: 77
Islam, Agama yang Menyempurnakan Keseimbangan
Islam tidak hadir untuk memisahkan antara dunia dan akhirat, tetapi untuk menyatukan keduanya dalam harmoni yang sempurna. Ajaran Islam bukan hanya tentang shalat, puasa, dan zakat, melainkan juga mencakup kehidupan sosial, ekonomi, dan moral manusia.
Keseimbangan inilah inti ajaran Islam yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai “ummatan wasathan” — umat yang pertengahan dan adil. Allah berfirman:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًاۗ
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang wasath (pertengahan), agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad SAW) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” — QS. Al-Baqarah [2]:143
Dengan prinsip ini, Islam memandu manusia untuk beribadah tanpa meninggalkan dunia, bekerja tanpa melupakan akhirat, dan berakal tanpa kehilangan hati nurani.
Konsep Keseimbangan dalam Islam
Kata wasath berarti pertengahan, adil, dan terbaik. Imam Al-Raghib Al-Ashfahani menjelaskan bahwa posisi tengah selalu melambangkan kebaikan, karena ia menjauh dari dua ekstrem: berlebihan (ifrath) dan kekurangan (tafrith).
Rasulullah ﷺ mencontohkan prinsip ini secara sempurna. Ketika beberapa sahabat ingin beribadah secara ekstrem — berpuasa terus-menerus, tidak tidur malam, dan tidak menikah — beliau bersabda:
“Aku berpuasa dan aku juga berbuka (tidak puasa), aku shalat (malam) dan aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.”— (HR. Bukhari & Muslim)
Hadis ini menegaskan: Ibadah yang benar adalah yang seimbang. Ibadah yang membuat tubuh lelah dan keluarga terabaikan bukanlah ibadah yang dicintai Allah.
Dunia dan Akhirat
Islam tidak mengajarkan umatnya membenci dunia. Dunia adalah ladang amal menuju akhirat. “Tidak ada larangan bagi kalian untuk mencari sebagian dari karunia Allah, Nabi ﷺ bersabda:
“Dunia hanyalah tempat tinggal sementara, sedangkan akhirat adalah tempat tinggal yang kekal.”— (HR. Muslim)
Teladan Para Sahabat
Khalifah Umar bin Khattab r.a. pernah menegur seseorang yang berpura-pura “bertawakal” tanpa bekerja. Umar berkata:
“Langit tidak akan menurunkan emas dan perak.”
Maknanya jelas: tawakal harus diiringi usaha. Islam menolak sikap malas yang dibungkus religiusitas.
Sementara itu, Abdurrahman bin Auf r.a. adalah contoh sahabat sukses secara ekonomi tapi tetap zuhud. Ia berdagang dengan jujur, dan saat kaya raya, ia menyumbangkan ribuan unta serta emas untuk jihad. Ia berkata:
“Aku takut bila aku mendapatkan kenikmatan dunia, maka pahalaku akan berkurang di akhirat.”
Bekerja keras dan berzakat, berdagang dan beribadah — itulah keseimbangan yang melahirkan keberkahan.
Keseimbangan Akal dan Hati
Islam adalah agama yang mengajak berpikir. Dalam Al-Qur’an, kalimat seperti “afala ta‘qilun” (tidakkah kalian berpikir) berulang-ulang disebut, menandakan penghormatan tinggi terhadap akal.
Namun akal harus dipandu oleh hati yang bersih dan iman yang kokoh. Akal tanpa iman melahirkan kesombongan intelektual; iman tanpa akal melahirkan fanatisme buta.
Ali bin Abi Thalib r.a. pernah berkata:
“Akal tanpa agama adalah kesombongan, agama tanpa akal adalah kebodohan, dan keduanya tanpa adab adalah kesia-siaan.”
Begitu pula Hasan al-Bashri, seorang tabi‘in agung, menasihati:
“Ilmu yang tidak membuatmu takut kepada Allah hanyalah kebodohan yang menyerupai ilmu.”
Dengan demikian, Islam memadukan nalar dan nurani, sehingga umatnya mampu membangun peradaban yang cerdas dan beretika.
Menjaga Keseimbangan Ibadah dan Sosial
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”
— (HR. Ahmad)
Ibadah dalam Islam tidak berhenti di sajadah. Ia harus menetes dalam amal sosial — membantu fakir miskin, menegakkan keadilan, dan menebarkan kasih sayang.
Kisah Keteladanan
Ketika kaum Muslim kekurangan air di Madinah, Utsman bin Affan r.a. membeli sumur Raumah dari seorang Yahudi dan mewakafkannya untuk umat. Ia juga menyumbangkan 1000 unta dalam perang Tabuk. Namun dalam kesibukan sosialnya, beliau tetap dikenal sebagai ahli ibadah.
Sementara Salman al-Farisi menasihati Abu Darda’ yang terlalu asyik beribadah hingga melupakan keluarganya:
“Tuhanmu punya hak atasmu, tubuhmu punya hak atasmu, dan keluargamu punya hak atasmu. Maka berikanlah hak kepada setiap yang berhak.”
Rasulullah ﷺ membenarkan nasihat itu dengan sabda singkat namun bermakna:
“Salman benar.” (HR. Bukhari)
Kesalehan sejati lahir dari keseimbangan antara dzikir dan amal, sajadah dan kepedulian.
Jasmani dan Rohani, Dua Dimensi yang Harus Dijaga
Islam tidak hanya menuntun ruh, tetapi juga memuliakan tubuh. Nabi ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu.”
— (HR. Bukhari)
Rasulullah ﷺ menjaga pola makan, tidur cukup, dan menjaga kebersihan. Beliau bersabda:
“Mukmin yang kuat lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.”
— (HR. Muslim)
Artinya, kekuatan fisik dan spiritual sama-sama penting.
Di zaman kini, menjaga keseimbangan jasmani-rohani berarti menerapkan gaya hidup sehat tanpa meninggalkan ibadah. Sehat jasmani mendukung produktivitas amal, sementara sehat rohani menjaga niat dan ketenangan hati.
Harta dan Zuhud
Islam tidak mengharamkan kekayaan. Yang dilarang adalah menjadikan harta sebagai tuhan baru. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kekayaan bukanlah banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kaya hati.”
— (HR. Bukhari & Muslim)
Umar bin Abdul Aziz, khalifah zuhud dari Bani Umayyah, pernah berkata:
“Zuhud bukan berarti tidak memiliki harta, tetapi tidak bergantung pada harta.”
Ayat-ayat Al-Qur’an menegaskan bahwa harta hanyalah ujian:
“Ketahuilah, kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan perhiasan, saling berbangga-bangga serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan.”
— QS. Al-Hadid [57]:20
Namun Islam juga menjanjikan pahala besar bagi orang yang bersedekah:
“Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir ada seratus biji.”
— QS. Al-Baqarah [2]:261
Keseimbangan inilah kaya tapi dermawan, sukses tapi tidak sombong, memiliki tapi tidak diperbudak.
Keseimbangan Individual dan Sosial
Islam adalah agama sosial. Tidak ada kesalehan pribadi tanpa tanggung jawab sosial. Dalam masyarakat Madinah, Nabi ﷺ mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, menghapus diskriminasi, dan menegakkan keadilan bagi semua, termasuk non-Muslim.
Ali bin Abi Thalib berkata:
“Janganlah engkau menjadi orang yang keras tanpa kasih, dan jangan pula menjadi orang yang lembek tanpa wibawa.”
Umat Islam dituntut untuk tegas menegakkan kebenaran, namun lembut dalam menyampaikan. Tegas tanpa kasar, lembut tanpa lemah — di situlah letak keseimbangan sosial Islam.
Refleksi
Dalam dunia modern yang penuh polarisasi — antara materialisme dan spiritualisme, karier dan keluarga, agama dan teknologi — ajaran Islam tentang keseimbangan semakin relevan.
Seorang Muslim modern bisa bekerja di perusahaan global tanpa kehilangan nilai-nilai iman. Ia bisa berinovasi di bidang sains, seni, atau bisnis tanpa kehilangan akhlak. Ia bisa menikmati kemajuan dunia tanpa tersesat oleh gemerlapnya.
“Bertebaranlah kamu di muka bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.”
— QS. Al-Jumu‘ah [62]:10]
Ayat ini menggambarkan keseimbangan ideal yaitu bekerja keras di dunia sambil mengingat Allah dalam setiap langkah.
Hidup adalah perjalanan panjang di antara dua tujuan: dunia dan akhirat. Di setiap langkahnya, manusia selalu dihadapkan pada pilihan—antara berlari mengejar dunia atau berjalan menuju surga. Islam hadir bukan untuk mematikan salah satunya, tetapi untuk mengajarkan bagaimana keduanya bisa berdampingan dalam harmoni.
Keseimbangan dalam Islam bukan sekadar konsep moral, melainkan jiwa dari seluruh ajarannya. Ia menuntun manusia agar tidak tenggelam dalam ambisi duniawi, tetapi juga tidak pasrah tanpa usaha. Seorang Muslim sejati tidak hanya menundukkan kepala di sajadah, tapi juga menggenggam dunia dengan tangan yang bersih dan hati yang jernih.
Rasulullah ﷺ telah menunjukkan jalan itu dengan begitu indah: beliau berdagang dengan jujur, memimpin dengan adil, berkeluarga dengan kasih, dan beribadah dengan khusyuk. Dalam dirinya, dunia dan akhirat berpadu dalam keseimbangan yang sempurna—menjadi contoh abadi bagi umatnya hingga akhir zaman.
Di tengah zaman modern yang hiruk pikuk, ketika manusia sering tersesat antara kesuksesan materi dan kehampaan batin, pesan Islam tentang keseimbangan menjadi pelita yang menuntun. Ia mengingatkan bahwa ketenangan bukan ditemukan pada harta, jabatan, atau popularitas, melainkan pada hati yang mampu menempatkan segalanya sesuai porsinya.
"Bekerjalah sekuat tenaga seolah engkau hidup selamanya, dan beribadahlah seolah engkau akan mati esok hari." Inilah keseimbangan yang diajarkan Rasulullah ﷺ — bukan untuk membuat manusia berhenti, tetapi agar setiap langkahnya menuju Allah membawa manfaat bagi sesama.
Pada akhirnya, keseimbangan hidup dalam Islam adalah seni untuk menjadi manusia yang utuh:
yang bekerja di bumi tapi hatinya tertaut di langit,
yang menikmati dunia tanpa melupakan akhirat,
yang berpikir dengan akal tapi berjalan dengan iman.
Dan ketika seorang Muslim mampu memadukan keduanya, maka hidupnya akan menjadi seindah doa yang dijawab,
menjadi tenang seperti malam setelah hujan,
menjadi cahaya kecil yang menerangi dunia di jalan menuju ridha-Nya.